Untukmengetahui illat dalam sebuah hadis adalah dengan cara membandingkan antar periwayatan yang tsiqah. 4. Perawinya 'adil. Imam Ibnu Hajar mengatakan perawi yang adil adalah perawi yang menjaga ketakwaan dan menjauhi dosa kecil. Artinya orang 'adil adalah orang yang senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau yang mengikuti hawa nafsunya. Ada lima syarat perawi disebut 'adil, yaitu: (1) Muslim; (2) Menjauhi perbuatan fasiq; (3) bukan orang yang teledor; (4) mukallaf (balig
5 Lima Syarat Hadis Shahih Berdasarkan kuantitas sanad, hadis dibagi menjadi dua; hadis mutawatir dan hadis ahad. Sedangkan ditinjau berdasarkan kualitas sanad, hadis dibagi menjadi tiga; hadis shahih, hasan, dan dhaif. Pada pembahasan berikut ini, kita akan memfokuskan pada penjelasan hadis shahih. Apa itu hadis shahih? Apa saja syaratnya? Secara bahasa, shahih berarti sehat atau lawan dari sakit. Makna ini menjadi makna sebenarnya untuk fisik, namun merupakan majaz untuk hadis. Sementara secara istilah, Hafidz Hasan Al-Mas’udiy Gurus besar Universitas Al-Azhar As-Syarif serta pengarang kitab Minhatu Al-Mughits, menjelaskan hadis shahih dalam kitabnya sebagaimana berikut. مَااتَّصَلَ اِسْنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ ضبطا تاما عَنْ مِثْلِهِ اِلَى مُنْتَهَى السَّنَدِ مِنْ غَيْرِشُذُوْذٍ وَلَاعِلَّةٍ قَادِحَةٍ Hadis yang bersambung sanadnya diriwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhabit kuat hafalannya dan dari rawi yabg sekualitas dengannya hingga puncak akhir sanada, terhindar dari syadz kejanggalan dan tidak ada illat cacat yang parah. Berdasarkan istilah tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hadis shahih itu harus memiliki lima syarat yang penjabarannya adalah sebagaimana berikut. Pertama, bersambung sanadnya ittishalus sanad. Artinya, tiap-tiap rawi periwayat hadis dari rawi lainnya benar-benar mengambil hadis secara langsung dari orang di atasnya dari sejak awal sanad sampai akhir sanad. Jadi, setiap rangkaian rawi dalam sanad tersebut memiliki hubungan guru dan murid. Hal ini bisa diketahui dengan melihat biografi masing-masing rawi di kitab sejarah para rawi hadis rijal al-hadis. Biasanya dalam kitab tersebut dicantumkan nama guru dan muridnya, namun apabila tidak disebutkan bisa juga diketahui dengan melihat perjalanan ilmiah atau tahun wafatnya. Kedua, Perawinya Adil di dalam periwayatan. Adil di sini bermakna perawi tersebut Islam, Aqil berfikir sehat, Baligh dewasa, terhindar dari melakukan dosa besar atau dosa-dosa kecil yang terus menerus, terhindar dari hal-hal yang menodai kepribadian. Misalnya makan di pasar, berjalan tanpa alas kaki atau tidak memakai penutup kepala Ketiga, Dlabith, artinya kuat ingatan. Sedangkan Dlabith ada dua macam; Dlabith Shadri, artinya ingatan rawi benar-benar tersimpan kuat di dalam pikirannya atas apa yang telah ia dengar dan terima, ingatannya tersebut sanggup ia keluarkan kapanpun dan di manapun ia kehendaki Dlabith Kitab, artinya rawi tersebut kuat ingatannya berdasarkan buku catatannya yang ia tulis sejak ia mendengar atau menerima hadis. Hal ini berlaku pada zaman pertama periwayatan hadis, untuk zaman sekarang cukup berdasar pada naskah-naskah yang telah disepakati dan telah disahihkan Keempat, Tidak terdapat kejanggalan. Maksudnya Periwayatan seorang rawi yang dikatakan tsiqah dipercaya berbeda dengan periwayatan banyak rawi lainnya yang juga tsiqah dipercaya, sebab ditambah atau dikurangi sanad maupun matannya Kelima, Tidak adanya kecacatan. Yaitu cacat yang berada pada hadis, di mana secara dlahir hadis tersebut dapat diterima, akan tetapi setelah diselidiki secara mendalam dan dengan seksama jalur periwayatannya mengandung cacat yang menyebabkan hadis itu ditolak. Mislanya hadis mursal atau munqathi’ akan tetapi diriwayatkan secara muttashil. العمدة Khoirul Anam KN
1 Penerima harus dlabit (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid). 2) Berakal sempurna serta sehat secara fisik dan mental Syarat berakal sehat sudah jelas disyaratkan dalambertahammul hadis karena untuk menerima hadis yang merupakan salah satu sumber hukum Islam sangat diperlukan.
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Rawi dalam ulumul hadits adalah seseorang yang menyampaikan hadits berupa perkataan, perbuatan, persetujuan maupun sifat Rasul kepada umat Nabi Muhammad saw. Yang mana seorang rawi itu mempunyai tanggung jawab yang sangat besar terhadap hadits-hadits Rasulullah, karena apabila seorang rawi itu tidak memiliki syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama’ hadits, maka hadits yang disampaikannya tidak diterima atau ditolak. At tahammul wal al adaa merupakan dua istilah yang tidak asing lagi dalam ilmu hadits karena keduanya merupakan hal yang sangat penting dalam perkembangan hadits di dunia ini oleh karenanya pada kesempatan ini penulis memilih judul yang berkaitan dengan at tahammul wal al adaa supaya penulis bisa lebih mengetahui mengenai at tahammul wal al adaa dan kita semua bisa mengetahui atau lebih akrab lagi dengan istilah-istilah dalam ilmu hadits yang belum kita ketahui at tahammul wal al adaa . 2. Rumusan Masalah Apa pengertian dan syarat-syarat perawi hadits? Apa yang dimaksud dengan at tahammul? Apa yang dimaksud dengan al adaa? 3. Tujan Penulisan Mengetahui pengertian dan syarat-syarat perawi hadits? Mengetahui apa yang dimaksud dengan at tahammul Mengetahui apa yang dimaksud dengan al adaa BAB II PEMBAHASAN 1. Rawi Hadits Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits[1]. Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan. Syarat-Syarat Rawi Berakal, cakap/cermat , adil, dan Islam adalah syarat syarat yang mutlak untuk menjadi seorang perawi agar riwayatnya dapat diterima . apabila seorang perawi tidak memenuhi seluruh predikat itu maka hadistnya akan ditolak dan tidak akan dipakai. Oleh para kritikus hadist, baik angkatan lama maupun angkatan baru, keempat syarat tersebut membutuhkan penjabaran lebih lanjut. Syu’bah bin al~Hajjaj160 H pernah ditanya “ Siapakah yang hadistnya terpakai ?” Syu’bah menjawab “ Orang yang meriwayatkan hadist dari orang terkenal yang justru tidak mereka kenal, hadistnya tidak terpakai. Atau apabila dia salah memahami suatu hadist. Atau bila dia sering melakukan kesalahan-kesalahan. Atau meriwayatkan hadist yang disepakati banyak orang bahwa hadist tersebut salah. Maka hadist-hadist yang diriwayatkan oleh orang seperti itu tidak dipakai. Adapun selainya, boleh diriwayatkan.”[2] Tampaknya Syu’bah ingin menegaskan bahwa dua syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi bila hadistnya ingin diterima yakni adil dan cermat. Sering melakulan kesalahan berarti tidak cermat, dan menyalahgunakan pemahaman hadist berarti tidak adil. Mengenai persyaratan harus Islam dan berakal, keduanya sudah menjadi syarat penting dan mutlak , sehingga Syu’bah tidak perlu menyebutkanya lagi . sebab tidak bisa kita gambarkan lagi seorang yang adil tapi bukan Islam atau orang yang cermat tapi tak berakal. a. Berakal Menurut para ahli hadist berkal berarti identik dengan kemampuan seseorang untuk membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan menyampaikan suatu hadist, seseorang harus telah memasuki usia akil balig[3]. Sahabat yang paling banyak menerima riwayat, yang mereka dengar pada masa kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan Abu Sa’id al-Khudri. Mahmud bin rabi’ masih ingat Rasulullah menghukumnya pada waktu ia membuat kesalahan dan beliau wafat ketika Mahmud berusia 5 tahun.[4] b. Cermat Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadist yang dia riwayatkan ternyata cocok dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat, telilti dan terpercaya. tetapi itu tidak harus mengena keseluruhan. Perbedaan yang tidak sedikit tentang hadist yang mereka riwayatkan masih dapat didamaikan. Tapi jika perbedaan terlampau jauh dan tidak sesuai dengan hadist yang mereka riwayatkan, maka kecermatanya masih diragukan.[5] Syu’bah al-Hajjaj berkata “Hadist aneh yang anda terima berasal dari orang yang aneh pula”.[6] Allah akan menghargai orang orang yang bersikap cermat dalam periwayatan hadist, merekalah orang yang pandai dan bijaksana, mereka hanya mau mengutip hadis shahih saja . hadist shahih diketahui bukan hanya dari riwayatnya saja tapi juga melalui pemahaman dan penghafal dan banyak mendengar.[7] c. Adil Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi pada urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang merusak kepribadian, Al-khatib al-Baghdadi memberikan definisi adil sebagai berikut ”yang tahu melaksanakan kewajibannya dan segala yang diperintahkanya kepadanya- dapat menjaga diri dari larangan-larangan, menjauhi dari kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa merugikan agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat menjaga dan mempertahankan sifat-sifat tersebut maka ia dapat disebut bersikap adil bagi agamanya dan hadistnya diakui kejujuranya.”[8] Para ulama membedakan adilnya seorang rawi dan bersihnya seorang saksi. Jika masalah kebersihan dapat baru diterima dengan penyaksian dua saksi. Saksi ini baik laki laki maupun saksi perempuan, orang merdeka atau berstatus budak, dengan persyaratan dapat adil terhadap dirinya sendiri.[9] Itulah menurut Imam fakhrudin dan Saif-Ahmad. Kepribadian yang baik harus dipenuhi oleh seorang rawi yang adil lebih banyak dikaitkanya dengan ukuran ukuran moral seorang rawi d. Muslim Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas. Seorang rawi harus meyakini dan mengerti akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadist atau khabar yang berkaitan dengan hukum-hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia mengemban tanggung jawab untuk urusan memberi pemahaman tentang semuanya kepada manusia. Namun syarat Islam sendiri hanya berlaku ketika seseorang menyampaikan hadist, bukan ketika membawa atau menanggungnya.[10] 2. Penerimaan Hadits Para ulama ahli hadits mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu periwayatan hadist dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits” dengan istilah at-tahammul, sedangkan menyampaikan hadits kepada orang lain mereka istilahkan dengan al aada. [11] Syarat menerima riwayat hadits Menurut pendapat yang sahih, perawi pada waktu menerima riwayat hadits tidak disyaratkan harus beragama Islam dan baligh, namun setidak-tidaknya harus sudah tamyiz. Jadi orang kafir dan anak-anak dinyatakan sah menerima riwayat hadits, tetapi untuk kegiatan penyampaiannya tidak sah sebelum masuk Islam dan baligh.[12] Ada sebagian pendapat menyatakan, bahwa perawi hadits dalam melaksanakan kegiatan penerimaan riwayat hadits dinyatakan harus baligh pendapat ini tidak benar, sebab banyak kaum muslimin secara ijma’ menerima atau tidak mempersoalkan riwayat sahabat, baik diterima sebelum atau sesudah baligh. Para ulama berbeda pendapat tentang minimal usia disunatkan mendengar hadits Menurut ulama Syam minimal berumur 30 tahun Menurut ulama Kufah, minimal berumur 20 tahun Menurut ulama Basrah, minimal berumur 10 tahun Untuk masa sekarang yang benar adalah mulai umur sedini mungkin sekiranya yang bersangkutan sudah mampu mendengarnya, karena semua hadits sudah tercatat dalam kitab-kitab hadits. Tata cara Penerimaan Riwayat Hadits Para ulama ahli hadits menggolongkan metode menerima suatu periwayatan hadits menjadi delapan macam[13] yaitu Al-sima’ Suatu cara penerimaan hadits dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan gurunya dengan cara didiktekan, baik dari hafalannya maupun dari tulisannya, sehingga yang menghadirinya mendengar apa yang dismpaikannya tersebut. Menurut jumhur ahli hadits, ini yang paling tinggi tingkatannya. Sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa al-sama’ yang dibarengi al kitabah mempunyai nilai lebih tinggi dan paling kuat, karena terjamin kebenarannya dan terhindar dari kesalahan dibandingkan dengan cara lainnya. Termasuk dalam kategori sama’ juga seseorang yang mendengarkan hadits dari Syeikh dari balik sattarsemacam kain pembatas/penghalang. Jumhur ulama membolehkannya dengan berdasarkan para sahabat yang juga pernah melakukan hal demikian ketika meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah melalui ummahat al-mu’minin para istri Nabi. Kata yang dipakai adalah سمعت او حد ثني او أخبر ني او أنبأ ني او قال لي او ذ كر لي Al Qira’ah ala al Syaikh atau Aradh al Qira’ah Yakni suatu cara penerimaan hadits dengan cara seseorang membacakan hadits dihadapan gurunya , baik dibaca sendiri atau dibaca orang lain dan dia mendengarkanya, sedangkan sang guru mendengarkan atau menyimaknya, baik seorang guru hafal maupun tidak, tetapi ia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya atau dia tergolong tsiqqah. Kata yang dipakai untuk cara ini 1 Yang paling hati-hati قر أت علي فلا ن او قر ئ عليه و انا أسمع فأقر أ به 2 Menggunakan ibarat al sama’ yang dikaitkan dengan lafal qira’ah حد ثنا قر اءة عليه 3 Yang sering dipakai oleh sebagian besar ulama’ hadits hanya kata أخبر نا Al-Ijazah Yaitu, seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan yang ada padanya. Pemberian izin ini dinyatakan secara lisan atau tulisan. Contohnya seperti perkataan seorang guru kepada salah satu muridnya أجرت لك ان تروي عني صحيح البخاري “ saya beri izin untuk meriwayatkan hadits-hadits yang ada pada kitab shahih al_bukhari.” Al-Munawalah Al munawalah terbagi menjadi 2 macam yaitu Al munawalah al maqrunah bi al-ijazah yaitu al munawalah yang dibarengi dengan ijazah. Prakteknya, seorang guru hadits menyodorkan kepada muridnya hadits yang ada padanya, kemudian guru tadi berkata ” anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadits yang saya peroleh ini”, atau seorang murid menyodorkan hadits kepada guru hadits, kemudian guru itu memeriksanya dan setelah guru memaklumi bahwa dia juga meriwayatkan, maka dia berkata “hadits ini telah saya terima dari guru-guru saya dan anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadits ini dari saya”. Bentuk ijazah ini dinilai paling tinggi kualitasnya diantara bentuk ijazah yang lain. Al munawalah mujarradah an al ijazh yaitu al munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah. Praktejnya seoran gguru menyodorkan kitab hadits kepada muridnya sambil berkata “ini hadits yang pernah saya dengar” atau “ini hadits yang telah saya riwayatkan”. Kalimat periwayatan yang dipakai dengan cara al-munawalah Untuk al-munawalah al maqrunah bi al-ijazah yang terbaik dengan kata ناولني أو ناولني وأجا زلي Boleh juga memakai ibarat al-sama’ atau al-qira’ah yang dikaitkan dengan kata munawalah dan ijazah seperti حدثنا منا ولة أ و أخبرنا منا ولة واجازة Al-Kitabah Artinya seorang guru hadits menulis hadits yang diriwayatkannya untuk diberikan kepada orang tertentu, baik ditulis sendiri maupun orang lain atas permintaannya, baik yang diberi itu berada dihadapan guru atau tidak. Al kitabah dibagi menjadi 2 macam yaitu Al kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan أجزتك ما كتبت لك أو اليك Al kitabah yang tidak dibarengi dengan ijazah, artinya seorang guru menulis sebagian hadits untuk diberikan kepada seorang tanpa memberi izin meriwayatkannya. Kalimat periwayatan yang digunakan untuk cara al-kitabah Dengan jelas memakai lafal al-kitabah, seperti perkataan كتب الي فلان Atau memakai lafal al-sama’ atau al qira’ah yang dikaitkan dengan lafal al-kitabah seperti perkataan حد ثني فلا ن أو أخبر ني كتا به Al-I’lam Artinya seorang guru hadits memberitahukan kepada muridnya, hadits atau kitab hadits yang telah didengarnya atau diterimanya dari perawinya. Kalimat yang sering dipakai untuk cara al-I’lam antara lain علمني شيخي بكذا Al-Washiyah Artinya, seorang guru menjelang wafatnya atau sebelum bepergian, ia memberikan wasiat kepada seseorang untuk sebuah kitab hadits yang pernah diriwayatkan. Kalimat yang dipakai untuk cara al-washiyah yaitu أو صي الي فلان بكذ أو حد ثني فلان وصية Al-Wijadah Artinya, seorang murid menemukan beberapa hadits catatan seorang guru hadits yang dikenalnya dan tidak diperoleh dengan cara mendengar atau ijazah. Kata-kata yang dipakai untuk cara al-wijadah antara lain وجد ت بخط فلان أو قرأت بخط فلان كذ ا 3. Periwayatan hadits Al ada’ ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain. Oleh karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu mempunyai pertanggung jawaban yang cukup berat sebab sah atau tidaknya suatu hadits juga sangat bergantung padanya. Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadits, sebagaimana berikut ini[14] Islam Pada waktu meriwayatkan hadits, maka seorang perawi harus muslim, dan menurut ijma periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang fasik saja kita disuruh bertawaquf, maka lebih-lebih perawi yang kafir. Kaitannya dengan masalah ini dapat kita bandingkan dengan firman Allah surat Al-hujuraat ayat 6 sebagai berikut 6. Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. Baligh Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika meriwayatkan hadits, walaupun penerimaannya sebelum baligh. Hal ini didasarkan pada hadits rasul رفع القلم عن ثلا ثة عن المجنون المغلوب علي عقله حتي يفيق وعن نائم حتي يستيقظ وعن الصبي حتي يحتلم Hilangnya kewajiban menjalankan syari’at Islam dari tiga golongan, yaitu orang gila sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai bangun dan anak-anak sampai ia mimpi HR. Abu Daud dan Nasa’iI Adalah Yang dimaksud dengan adil adalah adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadian. Dhabit Dhabit ialah تيقظ الراوي حين تحمله وفهمه لما سمعه وحفظه لذ لك من وقت التحمل الي وقت الجاء “Teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikan” Jalannya mengetahui kedhabitan perawi dengan cara I’tibar terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang shiqqah dan memberikan keyakinan. Ada yang mengatakan, bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas, antara suatu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadits yang disampaikan tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan hadits-hadits yang lebih kuat ayat-ayat al qur’an. BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan Dari penjelasan syarat-syarat rawi dan tahammul wa al-ada’ di atas dapat kami ambil kesimpulan bahwa syarat-syarat rawi itu ada 4 yaitu berakal, cakap/cermat , adil, dan islam. Dan keempat hal ini harus dipenuhi oleh seorang rawi, apabila salah satu tidak terpenuhi maka hadistnya akan ditolak dan tidak akan di pakai. Para ulama ahli hadits mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu periwayatan hadist dari deorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits” dengan istilah at-tahammul, sedangkan menyampaikan hadits kepada orang lain mereka istilahkan dengan al ada’. At tahammul menerima periwayatan hadits sendiri mempunyai 8 cara yaitu al sima’, al qiro’ah, al ijazah, al munawalah ,al kitabah, al i’lam, al washiyah, dan al wijadah. Sedangkan al ada’ menyampaikan hadits memiliki 4 syarat yang harus dipenuhi semua, karena ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu mempunyai pertanggung jawaban yang cukup berat sebab sah atau tidaknya suatu hadits juga sangat bergantung padanya. Adapun 4 syarat tersebut yaitu islam, baligh, adalah adil, dan dhabit DAFTAR PUSTAKA Al Naisaburi, Al Hakim. 2006. Ma’rifah Ulum al-Hadist. Bandung Nuansa Cendekia. Al Shan’ani, Muhammad,. 1998. Taudlih al Afkar Lima’ani Tanqihil Andhar, vol 1, Beirut Dar Ihyaul Turats al Arabi, Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor Ghalia Indonesia Thahhan, Mahmud. 2007. Intisari Ilmu Hadits. Malang UIN-Malang Press Uwayd ,Salah Muhammad Muhammad. 1989. Taqrib Al-tadrib . Beirut Dar al-Kutub al-Imliyyah [1] Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor Ghalia Indonesia. hal 120 [2]Al Naisaburi, Al Hakim. 2006. Ma’rifah Ulum al-Hadist. Bandung Nuansa Cendekia. hal 62 [3] Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-kifayah. hal 54 [5]Salah Muhammad Muhammad Uwayd. Taqrib Al-tadrib . Beirut Dar al-Kutub al-Imliyyah, 1989 hal 110 [6] Al-Khatib Al-Baghdadi .Al-Kifayah .hal 141 [7] Al Hakim al Naisaburi. Ma’rifah Ulum al-Hadist. hal 59 [8]Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-kifayah .hal 80 [9] Muhammad Al Shan’ani. Taudhid al-Afkar 2/121. [10] Al-Khatib Al-Baghdadi . Al-Kifayah hal 76 [11] Sohari Sahrani. Ulumul Hadits.Bogor Penerbit Ghalia Indonesia, 2010 hal 176 [12] Mahmud Thahhan. Intisari Ilmu Hadits. Malang UIN-Malang Press,2007 hal 174 [13] Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor Ghalia Indonesia hal. 177 [14] Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor Ghalia Indonesia hal 182
Berikutmerupakan nama-nama perawi hadits shahih. Periwayat Hadits. Periwayat Hadits yang diterima oleh sunni. 1. Shahih Bukhari, disusun oleh Bukhari (194-256 H). 2. Shahih Muslim, disusun oleh Muslim (204-262 H). 3. Sunan Abu Dawud, disusun oleh Abu Dawud (202-275 H). 4. Sunan at-Turmudzi, disusun oleh At-Turmudzi (209-279 H). 5.
Jakarta Arti musinnah merupakan salah satu persyaratan hewan kurban saat Idul Adha. Ada banyak ketentuan yang telah ditetapkan Rasulullah SAW dalam hadis terkait hewan yang sah dijadikan hewan kurban pada saat Hari Raya Idul Adha. Hukum Patungan Kurban Saat Idul Adha, Bolehkah? Hukum Menjual Kulit Hewan Kurban, Simak Penjelasan Kemenag RI 5 Cara Menyembelih Hewan Kurban yang Benar, Simak Doanya Syarat hewan kurban musinnah diterangkan dalam riwayat hadits yang dinukil dari kitab Fikih Sunnah Jilid 5 karya Sayyid Sabiq. Diriwayatkan dari Jabir bahwa Rasulullah SAW bersabda لا تَذْبَحُوا إِلا مُسنة، فإِن تَعْمُرُ عَلَيْكُمْ فَاذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ Artinya "Janganlah kalian menyembelih hewan kurban kecuali musinnah. Namun jika sulit bagimu, maka sembelihlah biri-biri domba jadza'ah." HR Muslim. Lantas apa arti dari musinnah? Berikut ulas mengenai arti musinnah yang telah dirangkum dari berbagai sumber, Kamis 8/6/2023.Sapi-sapi kurban milik Presiden Jokowi dan Gubernur Anies Baswedan dikirim ke Kepulauan Seribu. Warga kepulauan tersebut senang karena pertama kalinya Presiden Jokowi mengirimkan hewan kurban ke hewan kurban buku Panduan Qurban dari A sampai Z 2015 karya Ammi Nur Baits, yang menjelaskan terkait arti musinnah adalah hewan yang sudah masuk usia dewasa. Kata musinnah sendiri berasal dari bahasa Arab yakni sinnun yang artinya gigi. Hal ini karena ketika hewan ini menginjak usia musinnah, ada giginya yang tanggal atau poel. Definisi lain, musinnah adalah hewan yang gigi depannya telah tumbuh permanen. Sedangkan di bawah usia musinnah adalah usia jadzaah. Hewan yang termasuk musinnah dan jadzaah berbeda-beda. Berikut rinciannya Jadza’ah untuk domba gembel, yakni domba yang sudah berusia 6 bulan menurut Madzhab Hanafi dan Hanbali. Adapun menurut Maliki dan Syafi’i adalah domba yang sudah genap satu tahun. Musinnah untuk kambing, baik kambing jawa maupun domba adalah kambing yang sudah genap satu tahun, menurut Madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali. Sedangkan menurut Madzhab Syafi’i, kambing yang usiannya genap dua tahun. Musinnah untuk sapi adalah umur dua tahun, menurut Madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Sedangkan menurut Malikiyah, sapi yang usianya tiga tahun. Musinnah untuk unta adalah unta yang genap lima tahun, menurut Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbali. Maka tidak sah berkurban dengan hewan yang belum mencapai umur minimal yang telah disebutkan di atas. Tapi diizinkan oleh Nabi Muhammad saw untuk berkurban dengan domba jika sudah sempurna 6 bulan usianya. Dalam buku berjudul Fiqih Kurban 2021 karya Ustadz Abu Abdil A’la Hari Ahadi, menjelaskan bahwa jenis hewan yang boleh dikurbankan terdiri dari 5 jenis, yakni unta, sapi, kerbau, kambing, dan domba. Kondisi hewan ini harus sehat dan tidak cacat. Kondisi cacat yang dimaksud menurut syariat adalah pincang, buta, sakit, dan kurus. Rasulullah SAW bersabda dalam hadist berikut “Tidak bisa dilaksanakan kurban binatang yang pincang, yang nampak sekali pincangnya, yang buta sebelah matanya dan nampak sekali butanya, yang sakit dan nampak sekali sakitnya dan binatang yang kurus yang tidak berdaging.” HR. Tirmidzi. Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga bersabda, “Ada empat hewan yang tidak boleh dijadikan kurban buta sebelah yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya ketika jalan, dan hewan yang sangat kurus, seperti tidak memiliki sumsum.” HR. Nasa’i, Abu Daud dan dishahihkan Al-Albani. Selain itu, ada juga cacat yang menyebabkan makruh untuk berkurban, ada dua 1. Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong. 2. Tanduknya pecah atau patah. Kemudian, cacar lainnya adalah cacat yang tidak berpengaruh pada hewan kurban boleh dijadikan untuk kurban namun kurang sempurna. Seperti tidak bergigi ompong, tidak berekor, bunting, atau tidak Hewan Kurban yang LainnyaIlustrasi hewan kurban/copyright musinnah, terdapat beberapa persyaratan hewan kurban yang perlu diketahui umat Muslim adalah sebagai berikut Merupakan hewan ternak sapi, kambung, unta, domba, dan kerbau. Satu kambing hanya boleh atas nama satu pengkurban. Sementara untuk sapi, bisa menjadi hewan kurban untuk 7 orang. Hewan harus sehat, bebas dari penyakit, dan tidak boleh buta atau bermata satu, kehilangan bagian dari ekor atau telinganya. Sebagian besar mazhab fiqh menerima bahwa hewan harus dijinakkan. Ketentuan Penyembelihan KurbanPengungsi Rohingya yang tinggal di Malaysia mengontrol seekor sapi sebelum menyembelihnya saat Idul Adha di Kuala Lumpur, Malaysia, 10 Juli 2022. Umat muslim seluruh dunia merayakan Idul Adha atau Hari Raya Kurban untuk memperingati kesediaan Nabi Ibrahim mengorbankan putranya. Mohd RASFAN/AFPBerikut ini terdapat beberapa ketentuan penyembelihan hewan kurban menurut syariat Islam, yakni Kurban dilakukan saat Iduladha dan hari tasyrik setelahnya. Kegiatan kurban dilaksanakan mulai pagi hari tanggal 10 sampai terbenamnya matahari tanggal 13 Dzulhijjah. Penyembelih beragama islam, baligh dan mampu menyembelih, membaca bismillah dan berniat atas nama orang yang berkurban. Alat penyembelihan, harus tajam, alat tersebut bisa berbahan besi, bambu, kaca ataupun yang lainnya, Tidak diperkenankan berbahan tulang, kuku,atau pun gigi. Tujuan penyembelihan untuk tujuan yang diridhai Allah SWT bukan untuk tujuan tumbal atau untuk sajian nenek moyang berhala atau upacara kemusrikan lainnya. Tata Cara Penyembelihan Hewan KurbanGubernur DKI Jakarta Anies Baswesdan menyembelih sendiri hewan kurban miliknya di Hari Raya Idul Adha 1443 Hijriah, Minggu 10/7/2022. NelfiraDalam Islam juga dijelaskan terkait tata cara penyembelihan hewan kurban yang benar. Berikut ini penjelasannya Membaringkan hewan kurban dengan posisi lambung kirinya ke tanah dengan muka menghadap kiblat, Mengikat semua kaki hewan tersebut dengan tali kecuali kaki sebelah kanan bagian belakang. Letakkan kaki si penyembelih di atas leher atau muka hewan tersebut supaya hewan tersebut tidak dapat menggerakkan kepalanya. Membaca Bismillah. Membaca shalawat. Membaca takbir. Apabila orang lain yang menyembelihkan, maka si penyembelih menyebutkan nama-nama orang yang berkurban. Mengasah pisau yang akan digunakan supaya lebih tajam Mulai menyembelih hewan * Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
. 222 148 192 283 377 239 123 9
berikut ini yang tidak termasuk syarat perawi hadits adalah